Seiring dengan itu, gerakan kemerdekaan di Tiongkok mencapai
Mandarin disebut Zhong Hoa Ming Guo. Kata Zhong Hoa dalam dialek Hokkian berubah menjadi Tionghoa. Semangat gerakan ini menyebar ke orang-orang Tionghoa di Indonesia sehingga mereka mulai menyebut dirinya dengan kata Tionghoa, menggantikan kata “Cina”.
Semangat kemerdekaan ini kemudian
ditularkan kepada para pejuang kemerdekaan Indonesia. Karena sama-sama
merasa senasib, sama-sama berjuang melawan kekuasaan asing (Eropa), maka
terciptalah kerja sama dan saling pengertian antara orang Tionghoa dan
Indonesia.
Beberapa bentuk kerja sama tersebut di antaranya :
1. Lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya,
pertama kali dipublikasikan seara umum oleh harian Sin Po, harian milik
golongan Tionghoa yang berorientasi ke negeri Tiongkok (Saat itu ada 3
golongan Tionghoa, yaitu : pro-Tiongkok, pro-Indonesia dan pro-Belanda).
2. Orang Belanda suka menggunakan kata
‘Inlander’ untuk menghina orang Indonesia. Kata ini sama dengan kata
“Cina”, awalnya netral tapi kemudian berkonotasi negatif. Koran Sin
Po-lah yang pertama kali mengambil inisiatif untuk mengganti kata
“Inlander” dengan kata “Boemipoetra” yang lebih positif.
Sebagai wujud rasa terima kasih atas
kedua hal ini dan terutama atas semangat kebangkitan nasional yang
ditularkan orang Tionghoa kepada orang Indonesia, tokoh-tokoh pergerakan
Indonesia juga mulai meninggalkan kata “Cina” dan mulai menggunakan
kata Tionghoa. Dengan demikian penghilangan kata “Cina” dan menggantinya
dengan kata Tionghoa memiliki makna yang sangat penting, khususnya bagi
orang-orang Tionghoa di Indonesia. Inilah salah satu bukti bahwa orang Tionghoa ikut berjuang untuk Indonesia.
Inilah juga yang membuktikan adanya kerja sama dan saling pengertian
yang harmonis antara orang Tionghoa dan Indonesia di jaman
pra-kemerdekaan.
Pada jaman Orde Lama, kata yang selalu
digunakan adalah Tionghoa, bahkan Koran dan tokoh yang anti Tionghoapun
juga menggunakan kata Tionghoa.
Lalu bagaimana kata Tionghoa berubah kembali menjadi kata Cina?
Tanggal 25-31 Agustus 1966 (di awal rejim orde baru) berlangsung
seminar Angkatan Darat di Bandung yang bertujuan untuk membahas peran
Angkatan Darat. Entah dari mana, tiba-tiba mereka membahas dan
memutuskan untuk mengganti kata Tionghoa/Tiongkok dengan kata “Cina”.
Pada tanggal 25 Juni 1967 keluarlah keputusan presidium kabinet untuk
membuang kata Tionghoa/Tiongkok dan menggantinya dengan kata “Cina”. Dan
keputusan ini didukung oleh segelintir Tionghoa (yang maaf, tidak tahu malu) yang tergabung di dalam LPKB (K. Shindunata dkk).
Sebenarnya ini suatu keganjilan besar.
Bagaimana mungkin suatu seminar yang tidak ada hubungannya dengan soal
Tionghoa mengambil suatu keputusan menghilangkan kata Tionghoa (Angkatan Darat seharusnya mengurus masalah pertahanan negara, bukan masalah penyebutan kata!)? Bagaimana mungkin penghilangan suatu kata saja harus ditetapkan melalui keputusan presidium kabinet? Jelas sekali bahwa keputusan ini rasis dan bermotif politik yang bertujuan mendiskriminasi golongan Tionghoa. Dengan demikian jelas bahwa kata “Cina” sengaja dihidupkan kembali dengan tujuan yang tidak baik.
Sejak saat itu, semua media massa mulai
menggunakan kembali kata “Cina” dan meninggalkan kata Tionghoa. Hanya
ada satu koran yang tetap bertahan menggunakan kata Tionghoa, yaitu
Indonesia Raya yang dipimpin oleh Mochtar Lubis.
Akibatnya bisa kita rasakan sampai sekarang terutama di kalangan
generasi muda Tionghoa. Mereka (atau bahkan kita sendiri) tidak terlalu
peduli lagi, bahkan sama sekali tidak mengetahui kenyataan sejarah dan
makna yang sangat penting di balik penggantian kata “Cina” menjadi
Tionghoa. Bahkan banyak yang tidak tahu menahu mengenai kata Tionghoa,
yang mereka tahu hanya “Cina” dan menggunakannya tanpa merasa berdosa
sama sekali.
Jadi mengapa kata Cina tidak pantas digunakan?
Sebagian orang mengatakan karena kata itu mengandung unsur penghinaan.
Memang betul bahwa kata itu mengandung penghinaan. Namun itu tidak
berarti bahwa kita harus terhina dan tidak perlu membuat kita
terhina/tersinggung. Orang yang menyebut kata “Cina” pun kadang ada yang
tidak berniat/bermaksud menghina dengan menggunakan kata “Cina” itu
sendiri, mungkin karena pengaruh kebiasaan mendengarkan dari orang lain
atau kepeleset omongannya saja.
Namun ada satu alasan yang sangat kuat, yaitu fakta sejarah seperti diuraikan di atas tadi. Penghilangan kata “Cina” dan penggunaan kata Tionghoa adalah bukti bahwa orang Tionghoa ikut berjuang untuk Indonesia dan
adanya kerja sama yang baik dan harmonis antara tokoh pejuang Tionghoa
dan Indonesia. Jika kata “Cina” dipakai, artinya sama saja kita dengan
orang asing yang hanya datang di Indonesia untuk berdagang dan mencari
kekayaan disini, bahkan mirip penjajah kompeni zaman dulu.
Juga jelas penggunaan kembali kata
“Cina” di jaman orde baru memiliki motif diskriminasi dan penghinaan.
Dengan demikian apabila kita masih saja menggunakan kata ‘”Cina”, sama
saja artinya kita mengubur fakta sejarah. Sama saja artinya kita tidak
menghargai kesepakatan yang diraih oleh para pahlawan kita. Sama saja
artinya kita menodai perjuangan para tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia
baik itu orang Tionghoa maupun Indonesia. Sama saja artinya kita
mewarisi kebijakan rejim orde baru yang rasis dan diskriminatif.
Bung Karno pernah mengatakan bahwa
bangsa yang besar adalah bangsa yang merhargai para pahlawannya. Saya
yakin ini termasuk artinya kita meneruskan perjuangan mereka dan
menghargai segala jerih payah mereka. Penghilangan kata “Cina” adalah
hasil jerih payah pejuang Tionghoa dan kesepakatan dengan tokoh pejuang
Indonesia. Kalau kita tidak bisa menghargainya (atau dengan kata lain
kalau saja masih memakai kata Cina), berarti kita bukanlah bangsa yang
besar. Dengan demikian, orang Tionghoa yang sudah mengerti fakta sejarah
ini tetapi masih saja menggunakan kata “Cina” bukanlah orang yang
“besar”!
Setelah mengetahui fakta sejarah ini,
diharapkan agar kita semua mulai meninggalkan kata “Cina” ini. Perlu
diperhatikan juga, masih banyak orang Tionghoa yang menggunakan
kata-kata yang tidak pantas untuk menyebut orang Indonesia sendiri,
misalnya “Hoa Na” atau “Fan Kui”.
Kebiasaan jelek ini juga harus kita tinggalkan. Mari kita sama-sama
saling menghargai satu sama lain, karena di Indonesia itu Negara dengan
berbagai suku, agama, kebudayaan dan ras. Jika tidak mampu
saling menghargai dan menghormati, silahkan angkat kaki pindah atau cari
Negara lain yang mungkin sesuai dengan sikap anda masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar